Dunia dihebohkan dengan penghilangan nyawa Komandan Garda Revolusi Iran, Mayor Jenderal Qasem Soleimani, dalam serangan misil yang ditembakkan melewati drone Amerika Serikat. Iran mengungkapkan melalui situs Pemerintah Iran berjanji balas dendam meskipun AS menganggap aksi itu sesuai dilaksanakan.
Drone yang dipakai Amerika Serikat dalam serangan tersebut ialah drone MQ-9 Reaper yang terbang nyaris sunyi tak bersuara. Di angkasa, MQ-9 Reaper meluncurkan misil Hellfire yang didampingi laser, mengarah dengan pas dan menghancurkan konvoi kendaraan beroda empat Soleimani yang pada saat itu sedang menuju Agen Ibcbet Terpercaya di sebuah pinggir kota dekat bandara penenerbangan.
Drone Amerika tersebut diterbangkan dari markas US Central Command yang terletak di Qatar. Dikontrol oleh dua pilot dari jarak jauh, MQ-9 Reaper dapat terbang hingga 370 kilometer per jam dan dapat menyerang di lokasi manapun serta menonjolkan tayangannya.
Reaper yang ongkos pembuatan satu unitnya ini USD 64 juta (Rp 893,4 miliar) dapat membawa 4 misil Hellfire dengan energi ledak cukup dahsyat, kapabel menghancurkan tank. Penerbangan drone hampir-hampir tak memunculkan bunyi sehingga target serangan tak menyadarinya.
Dilaporkan bahwa misil yang ditembakkan telah dimodifikasi, namanya Hellfire R9X ‘Ninja’, yang didesain untuk meminimalisir kerusakan di sekitarnya. Moncongnya terdiri dari semacam bilah bilah pisau tajam dan mematikan.
Serangan presisi semacam itu memerlukan pengamatan intelijen yang detil soal target serangan. Soleimani dilaporkan terus diawasi oleh intelijen AS, Israel, hingga Arab Saudi sebelum ditembak.
Pentagon meraup isu dari informan, pembajakan elektronik, pesawat pengintai dan teknik lainnya. Semuanya untuk memantau pergerakan Soleimani.
Aksi Penerbang Drone
Operasional drone AS antara lain di pangkalan udara Creech di Las Vegas. Di sini pilot terpilih mengendalikan drone yang beroperasi di lapangan untuk menolong kepentingan militer AS. Eks pilot yang pernah bekerja di sini, Michael Haas, menceritakan pengalamannya.
Ia bekerja antara tahun 2005 hingga tahun 2011, ketika AS betul-betul agresif memburu kaum militan di berbagai negara. Dari depan komputernya, ia telah membunuh target militer AS nan jauh di sana di Afghanistan.
Tugas utama Haas ialah mengendalikan kamera, laser dan perangkat untuk mengumpulkan isu lainnya di drone Reaper dan Predator. Ia juga bertanggung jawab untuk mendampingi misil Hellfire ke target, semacam itu misil itu ditembakkan oleh pilot lain di sampingnya.
Semuanya itu terasa mirip dengan permainan game, ia membunuh musuh musuh dari balik layar komputer. Hal yang bedanya adalah benar-benar ada orang yang terbunuh dan kadang mengusik nurani meskipun pemimpin mereka meyakinkan bahwa target sesuai dieliminasi sebab dianggap teroris dan berbahaya.
“Pernah menginjak semut? Kamu itu dikondisikan soal target, cuma gumpalan hitam di layar. Eks diciptakan berdaya upaya mereka sesuai mendapatkannya, mereka di pihak musuh,”
Selama menerbangkan drone, Haas diperintah menembakkan dua misil untuk membunuh musuh. Eks pilot lain bernama Brandon Bryant, terlibat lantas membunuh setidaknya 13 orang dalam 5 serangan misil Hellfire di Irak dan Afghanistan.
Program serangan drone AS memang kontroversial. Walaupun Amnesty International dan Human Rights Watch telah mengkritiknya sebab serangan semacam itu cukup sering kali memunculkan korban jiwa dari kalangan sipil. Melainkan pejabat AS mengucapkan program itu vital untuk melawan kelompok militan.
Kecanggihan drone dianggap betul-betul efisien untuk menghancurkan musuh musuh dan meminimalisir korban jiwa dari militer AS sebab dipegang dari jarak jauh. Dalam sebuah survei yang pernah diselenggarakan oleh institusi Pew, sebanyak 61% warga AS menunjang program drone. Jika kalian menginginkan drone ini kalian dapat mengisi form daftar poker online terpercaya sekarang juga.